Sabtu, 13 Februari 2016
Urgensi Pencegahan Tindak Teror
Oleh: Andre Zulfikar*
JARINGAN kelompok teror ISIS (Negara Islam Iraq dan Suriah)kini semakin gencar dan frontal dalam menyebarkan paham dan eksistensinya. Pengeboman dan penyerangan terhadap aparat penegak hukum dan masyarakat sipil yang terjadi di kawasan Sarinah beberapa hari lalu. Kawasan Sarinah merupakan kawasan perkantoran dan perbelanjaan di Jakarta Pusat. Penyerangan terhadap kawasan tersebut menjadi permulaan penyerangan teroris terhadap ruang publik di Indonesia. Hasil identifikasi terhadap pelaku teror Sarinah-pun menunjukkan bahwa mereka adalah warga negara Indonesia (WNI) yang positif telah berbaiat pada kelompok ISIS di Suriah. Mereka telah terperangkap dalam paham-paham yang didoktrinkan oleh ISIS dan tentunya masih banyak WNI sendiri yang telah terpengaruh dalam doktrin mereka baik yang terlihat jelas maupun yang masih diam-diam mengatakan mendukung ISIS.
Tindakan saat dan pasca teror tidak efektif dan efisien karena justru akan menimbulkan banyak korban baik dari aparat penegak hukum maupun masyarakat sipil. Hal tersebut dapat dilihat dari serangan ISIS di Perancis, Turki dan Indonesia akhir-akhir ini. Jumlah korban serangan di Paris, Perancis mencapai 153 orang tewas dan banyak korban luka-luka. Sementara di pengeboman ISIS di Istanbul menyebabkan 11 orang tewas dan beberapa luka-luka. Sedangkan aksi teror di kawasan Sarinah kemarin menyebabkan 7 orang tewas dan puluhan luka. Kesiapan aparat dalam menangani teror memang menjadi kunci utama sedikitnya korban. Namun hal tersebut tentunya tidak akan menghentikan aksi-aksi teror lainnya
Tindakan pencegahan terhadap tindakan teroris harus dikebiri hingga akar permasalahannya yakni, penindakan dan pencegahan terhadap faktor penyebab aksi teror yang kini banyak dilakukan oleh kelompok radikal. Pencangan revisi UU anti terorisme adalah langkah yang tepat untuk mempertajam hukum Indonesia dalam membunuh cikal bakal terorisme di Indonesia. Artinya UU teroris anti terorisme harus mampu memberikan legal sanding bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan preventif terhadap orang-orang yang telah menjadi anggota kelompok ekstremis ataupun yang akan melakukan tindak teror tanpa mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM).
Penolakan terhadap revisi UU anti terorisme banyak disuarakan oleh aktivis HAM. Menurut mereka, revisi UU anti terorisme terlalu terburu-buru dilakukan dan tidak memiliki urgensi. Mereka menilai bahwa revisi UU tersebut justru hanya akan menambah wewenang aparat penegak hukum yang dapat melanggar HAM. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar menilai UU yang ada sudah cukup untuk menanggulangi terorisme.“Sudah cukup UU yang ada. Tinggal yang dipertanyakan sekarang adalah kinerja aparat keamanan seperti polisi atau intelijen yang katanya bagus dalam memberantas terorisme,” ujar Haris Azhar. Dia juga mengungkapkan, pada tahun 2011 juga ada upaya untuk merevisi UU Intelijen karena maraknya tindakan-tindakan teror. Revisi dilakukan untuk menambah kewenangan intelijen sehingga dapat mencegah dan menindak aksi-aksi teroris. Saat ini hanya perlu meningkatkan sinergi antara aparat penegak hukum dan intelijen.
Kurang tepat jika kita berpikir bahwa revisi UU anti terorisme semata hanya untuk menambah wewenang intelijen. Koordinasi dan sinergi telah sering dilakukan pihak intelijen dalam mencegah terjadinya aksi teror. Namun tindakan terhadap orang-orang yang telah terkonfirmasi mengikuti kegiatan dan pelatihan teroris menjadi terhambat karena dianggap tidak memiliki unsur pidana dalam UU anti terorisme. Mereka lebih lihai dalam melakukan aktivitasnya tanpa menunjukkan bahwa mereka kelompok teror di depan hukum Indonesia. Misalnya, mereka latihan menembak dengan menggunakan kayu ataupun melakukan dakwah atau ceramah dengan menyebut kelompok lain dan NKRI adalah thogut tidak ditindak lanjut oleh kepolisian. Sehingga mereka sering lolos dari jeratan hukum.
Penguatan dasar hukum dalam upaya pencegahan aksi terorisme sangat penting dan merupakan langkah yang tepat dalam memberantas paham dan kelompok teroris di Indonesia. Langkah tersebut dilakukan Presiden Joko Widodo dengan merevisi Undang-Undang Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keputusan itu diperoleh setelah Jokowi menggelar rapat terbatas bersama menteri dan pimpinan lembaga terkait. Keinginan pemerintah meningkatkan pencegahan terorisme telah disampaikan Jokowi saat bertemu dengan pimpinan lembaga negara.Semua pimpinan lembaga negara sepakat bahwa pencegahan aksi terorisme harus ditingkatkan. Revisi UU Anti-terorisme ini dipastikan akan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah dan hak asasi manusia.Deradikalisasi, kekerasan, pendidikan, dan kesenjangan akan menjadi unsur yang dipertimbangkan dalam pembahasan revisi UU tersebut. Untuk itu, mari kita bersama-sama mendukung langkah pemerintah yang dalam hal ini tentu juga ikut mengawasi revisi UU agar tetap dalam koridor UUD 1945 serta tajam dalam menindak kelompok-kelompok teroris. (*)
*) Pengamat Sosial
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar