PODIUM Bali Bebas
Bicara Apa Saja (PB3AS) di Renon, Minggu (27/3) agak berbeda. Sebab, ada dua
wakil Bali di pusat hadir dan menyuarakan penolakan terhadap rencana reklamasi
Teluk Benoa oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Mereka adalah Anggota
DPR RI Nyoman Dhamantra dan DPD RI I Gusti Ngurah Arya Wedakarma.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika yang
juga hadir pada acara tersebut pun merasa bangga karena wadah penyaluran
aspirasi yang digagasnya mendapat perhatian dua Senator RI asal Bali tersebut.
“Ini menandakan, podium yang saya gagas makin berbobot,” ujar Pastika seraya
berharap agar ke depannya lebih banyak lagi wakil Bali di Senayan bisa bicara
di PB3AS.
Lebih jauh
Pastika menuturkan bahwa gagasan untuk melaksanakan PB3AS terinspirasi oleh
kegiatan serupa yang dilihatnya di London. Selain sebagai media penyaluran
berbagai aspirasi, melalui kegiatan ini Pastika ingin mendorong orang Bali agar
lebih berani bicara. “Di podium ini setiap orang boleh bicara mengenai apa saja
tanpa dibatasi waktu, tentunya dengan santun dan beretika,” imbuhnya.
Pada kesempatan itu, Pastika juga
mengundang Dhamantra, Arya Wedakarna dan senator lainnya untuk hadir di
Simakrama rutin digelar pada Sabtu di minggu terakhir setiap bulannya.
Sementara
itu, dalam orasinya Nyoman Dhamantra mengatakan bahwa kehadirannya di PB3AS
bertujuan untuk menyuarakan penolakan terhadap rencana Revitalisasi Teluk Benoa
yang diatur dalam Perpres Nomor 51 Tahun 2014. Politikus dari PDIP Bali ini
menilai, gerakan penolakan revitalisasi Teluk Benoa belakangan makin masif dan
serius. Dia berharap hal ini menjadi perhatian Gubernur Mangku Pastika. “Kami
berharap Bapak Gubernur ikut bersama-sama memohon kepada Presiden agar Perpres
Nomor 51 Tahun 2014 dicabut,” pintanya.
Menurut
Dhamantra, faktor niskala menjadi
alasan utama gerakan penolakan revitalisasi Kawasan Teluk Benoa.
"Kalau dari
segi sekala seperti kajian AMDAL
memang masih bisa diperdebatkan. Tapi yang menjadi dasar penolakan kami lebih
ke faktor niskala," ujar
Dhamantra seraya menyebut ada 31 pura di Kawasan Teluk Benoa yang perlu dijaga
kesuciannya.
Lebih dari itu, kata Dhamantra,
Bhisama PHDI sudah jelas melarang kegiatan pengurugan laut, danau dan campuhan.
Selain bicara soal revitalisasi,
Dhamantra juga meminta Gubernur mengkaji kembali kebijakan investasi di Bali.
Karena dia mengamati, pesatnya pertumbuhan investasi tak membawa dampak
signifikan bagi Krama Bali.
"Hotel dan vila menjamur, tapi
banyak perajin yang saat ini mengalami kesulitan dan hampir bangkrut,"
ucapnya.
Untuk itu,dia menyarankan agar
Gubernur mengatur kembali regulasi investasi agar lebih berpihak pada
kepentingan Krama Bali.
Pendapat senada juga disampaikan
Anggota DPD RI I Gusti Ngurah Arya Wedakarna. Sampai kapan pun, ujar Wedakarna,
dia akan berada di barisan terdepan dalam gerakan tolak reklamasi. Meski
demikian, dia tetap menghormati aspirasi mereka yang mendukung rencana
tersebut.
Ia juga menghimbau agar aspirasi
disampaikan sesuai aturan dan beretika. Penolakan juga disampaikan Mangku Wayan
Suteja. Dia menolak rencana Revitalisasi Teluk Benoa dengan alasan kawasan Bali
Selatan sudah terlalu padat. Selain itu, rencana ini dinilai tak sejalan dengan
pembangunan pariwisata berbasis adat dan budaya.
Selain kubu penolak, kelompok
pendukung tak kalah sengit dalam mengemukakan pendapat mereka. Komang Gede
Subudi, seorang warga Denpasar dengan lantang mengutarakan dukungannya terhadap
rencana Revitalisasi Teluk Benoa. Menurutnya, Bali membutuhkan lapangan
pekerjaan baru untuk menampung lulusan sarjana yang terus bertambah setiap
tahunnya.
Dia juga mengingatkan agar pihak
yang pro dan kontra tak mengatasnamakan adat dan agama dalam gerakan mereka.
Dukungan juga diutarakan Wayan Suata, Wayan Ranten dan Lanang Sudira. Dalam
orasinya, Ranten meluruskan bahwa revitalisasi bertujuan untuk mengembalikan
kawasan Teluk Benoa. Dia yang lahir di Teluk Benoa tahu betul kondisi kawasan
tersebut yang saat ini sangat memprihatinkan.
“Saat air surut, kita dapat melihat bagaimana kotornya
kawasan itu. Banyak sampah, bangkai binatang hingga pembalut wanita. Apa itu
yang disebut suci,” ujarnya dengan nada tanya. Kondisi serupa juga dibeber
Lanang Sudira yang selama ini aktif dalam gerakan pelestarian mangrove.
Orator lainnya seperti Wayan
Sutiawan dari Abian Semal dan Agung Ariawan dari Pedungan lebih memilih sikap
netral. Keduanya berpendapat, saat ini keputusan ada di tangan presiden. Jika
presiden mencabut Perpres, maka otimatis rencana itu akan batal. Pada bagian
lain, Agung Ariawan juga mengkritisi gerakan mengatasnamakan Desa Pakraman yang
kemudian difasilitasi kelompok aktifis tertentu.
Menurutnya, penyampaian aspirasi
yang mengatasnamakan Desa Pakraman harus sesuai mekanisme. “Ada majelis madya hingga
majelis utama, keliru kalau aspirasi desa pakraman dibawa oleh kelompok
aktivis. Itu yang perlu diluruskan,” tandasnya.
Menyimak
pro dan kontra terkait dengan rencana revitalisasi kawasan Teluk Benoa,
Gubernur Bali Made Mangku Pastika
menegaskan dirinya tak berpihak pada kepentingan atau kelompok manapun. “Mereka
yang pro maupun yang kontra, semua adalah tanggung jawab saya. Saya tak boleh
berpihak dan harus ada di kedua belah pihak,” ujarnya.
Untuk itulah, dia mengundang pihak
yang pro maupun yang kontra untuk menyampaikan pendapat di PB3AS. Terkait
dengan polemik rencana revitalisasi Teluk Benoa, Pastika akan mempertemukan
kedua belah pihak dalam sebuah diskusi. “Mari kita kaji baik buruk dan untung
ruginya. Kita bicara dengan pikiran lebih jernih,” pungkasnya. (humas pemprov bali)
BACA JUGA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar