PURNAMA
kedasa, adalah piodalan Bethara Turun Kabeh di Pura Besakih, Karangasem. Tahun ini,
Purnama Kedasa jatuh pada, Rabu, 23 Maret 2016. Sebelum tangkil, ada baiknya kita mengenal sejarah Pura Besakih yang
terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem, Bali.
Berdasarkan
lontar
Markandeya Purana, ternyata Pura Besakih ada kaitannya dengan Gunung Raung di Jawa
Timur. Ini berawal dari kedatangan Resi Markandeya bersama 8.000 pengikutnya ke
daerah hutan belantara yang terletak di kaki Gunung Agung. Mereka datang dari
daerah Gunung Hyang (diduga sebagai Gunung Dieng di Jawa Tengah saat ini).
Rombongan
itu, datang tanpa menyeberangi lautan. Sebab, sebelum ada Segara Rupek (Selat
Bali) antara Pulau Bali dan Jawa adalah satu daratan yang dikenal dengan nama
Pulau Dawa.
BACA
JUGA:
- Ini Kisah Terpisahnya Pulau Bali dan Jawa
- Desa Pinggan, Salah Satu Tempat Teindah di Bali
- Teori Einstein Dibuktikan Setelah Seabad
Resi
Markandeya, adalah seorang yogi berasal dari Hindustan (India). Oleh para
pengiring-pengiringnya disebut Bathara Giri Rawang karena kesucian rohaninya,
kecakapan hingga kebijaksanannya).
Awalnya,
Sang Yogi, bertapa di Gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu
adalah Dieng di Jawa Tengah yang berasal dan kata di-hyang). Sekian lamanya bertapa, Resi
Markandeya mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar Sang Yogi dan para
pengikutnya merabas hutan di Pulau Dawa. Setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para
pengikutnya.
Mendapat titah itu, Sang Yogi kemudian berangkat ke arah timur bersama
8000 orang pengikutnya. Tiba di lokasi, Resi Marakandeya menyuruh semua para pengiringnya bekerja
merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya.
Tapi,
saat merabas hutan, banyak para pengiringnya sakit, lalu meninggal. Ada juga
meregang nyawa karena dimakan binatang buas.
Menyaksikan para pengikutnya berjatuhan, Resi Markandeya memerintahkan untuk menghentikan semua aktivitas. Sang Yogi kemudian kembali lagi ke tempat pertapaannya semula di Gunung Rawang, (kini digekenal sebagai Gunung Raung, di Jawa Timur).
Beberapa
waktu kemudian, suatu hari yang dipandang baik (Dewasa Ayu) Sang Yogi kembali
ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru. Kali ini disertai
oleh para Resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha ke hadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali
ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan
membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam
di hutan yang akan dirabas itu.
Setelah
tiba di tempat yang dituju,Sang Yogi segera melakukan tapa yoga semadi
bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh
bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan
lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Kali ini, pekerjaan merabas hutan ini
tidak ada halangan yang berarti.
Selesai
merabas hutan, Sang Yogi mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para
pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.Di
tempat dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi menanam kendi (payuk) berisi
air, juga pancadatu yaitu berupa logam emas, perak,
tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana
sarana-sarana itu ditanam diberi nama Basuki yang kemudian kini dikenal sebagai
Desa dan Pura Besakih. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar