PERLAWANAN masyarakat menolak reklamasi Teluk Benoa di Bali, kini kian
menggema ke seluruh pelosok negeri ini. Teluk Benoa merupakan kawasan
konservasi, yang menyangga berbagai keragaman hayati, sumber penghidupan bagi
masyarakat, serta kawasan suci bagi masyarakat Hindu di Bali. Mereklamasi
kawasan Teluk Benoa berarti juga menimbun perairan yang dihidupi berbagai
spesies yang merawat keanekaragaman hayati, juga menjarah hak sipil para
masyarakat setempat untuk memiliki lingkungan hidup yang sehat dan situs
peribadahan.
Aksi solidaritas yang dilakukan di Jakarta dan juga di
beberapa daerah di Indonesia merupakan protes terhadap bagaimana pemerintah
mengabaikan fakta-fakta ekologis, sosial, dan religi Teluk Benoa dan relasinya
dengan masyarakat Bali.
“Pesan dari aksi solidaritas ini tegas dan jelas. Kami
menyerukan dicabutnya Perpres No. 51 Tahun 2014! Aksi solidaritas ini tidak
hanya dilakukan di Jakarta, tetapi juga dilakukan di Bandung, Palangkaraya,
Belitong, Makassar, di hari yang sama. Menyusul Bangka dan Jogjakarta di hari
yang berbeda”, ujar John Tirayoh dari ForBALI (Forum Rakyat Bali Tolak
Reklamasi Teluk Benoa) simpul Jakarta. “Aksi solidaritas ini merupakan dukungan
terhadap aksi-aksi yang telah dilaksanakan di Bali yang dipimpin oleh
ketua-ketua adat. Aksi solidaritas ini bermaksud untuk menggemakan suara
masyarakat di Bali,” lanjutnya.
ForBALI menggugat keberadaan
Perpres tersebut karena melanggar semangat konstitusi Republik Indonesia. Dua
hal khususnya yang kami soroti adalah perlindungan lingkungan hidup dan juga
perlindungan terhadap masyarakat adat. Upaya reklamasi Teluk Benoa telah
melalaikan dua hal yang saling terkait ini. Peraturan Presiden No. 51 Tahun
2014 ini dilihat seperti telah memberikan jebakan betmen bagi Pemerintahan Joko
Widodo.
“Peraturan Presiden ini
ditandatangani tidak lama sebelum Mantan Presiden SBY menyelesaikan masa
jabatannya. Peraturan Presiden ini adalah sebuah kebijakan pembangunan warisan
dari Pemerintahan SBY. Produk kebijakan turunan dari MP3EI yang mendapat
penolakan keras dari masyarakat Bali saat ini menjadi beban rezim Presiden Joko
Widodo. Proses pembuatan Perpres dilakukan kilat, giliran mendapat penolakan,
Presiden Joko Widodo yang harus menghadapinya”, ujar I Wayan Gendo Suardana,
Koordinator ForBALI.
Ketika ditanya tentang proses pembuatan Peraturan Presiden
yang mengubah status kawasan Teluk Benoa dari konservasi ke kawasan budidaya,
pria yang akrab disapa Gendo ini menjelaskan, “Dibawah Pemerintahan SBY,
Perpres tersebut diubah hanya dalam waktu 5 (lima) bulan setelah Gubernur Bali
Mangku Pastika mengajukan permohonan mengenai perubahan Perpres No 45/2011
tanggal 23 Desember 2013. Lalu, 2 (dua) bulan setelahnya, PT TWBI mendapatkan
ijin lokasi reklamasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hanya dalam
waktu yang singkat.”
Melalui aksi solidaritas di berbagai kota ini, ForBALI juga
mendorong agar Presiden Joko Widodo segera menghentikan rencana reklamasi Teluk
Benoa serta mencabut Perpres No 51/2014 agar lepas dari jebakan rezim
sebelumnya.
Gerakan melindungi Teluk Benoa dari ancaman reklamasi juga
menjadi mercusuar bagi inisiatif lainnya untuk melindungi pesisir Indonesia.
Diperlukan gerakan masyarakat secara total dan tidak berbatas untuk menjaga
perairan Indonesia dari berbagai upaya privatisasi, penghancuran maupun
pembangunan yang tidak berkelanjutan. Menyelamatkan Teluk Benoa berarti menjaga
pesisir Indonesia dan secara global, menjaga alam untuk seluruh umat manusia. (ForBali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar