Senin, 21 Maret 2016

Sejarah Besakih dari Dieng, Raung dan Gunung Agung

PURNAMA kedasa, adalah piodalan Bethara Turun Kabeh di Pura Besakih, Karangasem. Tahun ini, Purnama Kedasa jatuh pada, Rabu, 23 Maret 2016. Sebelum tangkil, ada baiknya kita mengenal sejarah Pura Besakih yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem, Bali.
Berdasarkan lontar Markandeya Purana, ternyata Pura Besakih ada kaitannya dengan Gunung Raung di Jawa Timur. Ini berawal dari kedatangan Resi Markandeya bersama 8.000 pengikutnya ke daerah hutan belantara yang terletak di kaki Gunung Agung. Mereka datang dari daerah Gunung Hyang (diduga sebagai Gunung Dieng di Jawa Tengah saat ini).
Rombongan itu, datang tanpa menyeberangi lautan. Sebab, sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali) antara Pulau Bali dan Jawa adalah satu daratan yang dikenal dengan nama Pulau Dawa.  

BACA JUGA:

-  Ini Kisah Terpisahnya Pulau Bali dan Jawa

-  Desa Pinggan, Salah Satu Tempat Teindah di Bali

-  Teori Einstein Dibuktikan Setelah Seabad


Resi Markandeya, adalah seorang yogi berasal dari Hindustan (India). Oleh para pengiring-pengiringnya disebut Bathara Giri Rawang karena kesucian rohaninya, kecakapan hingga kebijaksanannya).
Awalnya, Sang Yogi, bertapa di Gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah Dieng di Jawa Tengah yang berasal dan kata di-hyang). Sekian lamanya bertapa, Resi Markandeya mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar Sang Yogi dan para pengikutnya merabas hutan di Pulau Dawa. Setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.
Mendapat titah itu, Sang Yogi kemudian berangkat ke arah timur bersama 8000 orang pengikutnya. Tiba di lokasi, Resi Marakandeya menyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya.
Tapi, saat merabas hutan, banyak para pengiringnya sakit, lalu meninggal. Ada juga meregang nyawa karena dimakan binatang buas.

Menyaksikan para pengikutnya berjatuhan, Resi Markandeya memerintahkan untuk menghentikan semua aktivitas. Sang Yogi kemudian kembali lagi ke tempat pertapaannya semula di Gunung Rawang, (kini digekenal sebagai Gunung Raung, di Jawa Timur).

Beberapa waktu kemudian, suatu hari yang dipandang baik (Dewasa Ayu) Sang Yogi kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru. Kali ini disertai oleh para Resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha ke hadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan dirabas itu.
Setelah tiba di tempat yang dituju,Sang Yogi segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Kali ini, pekerjaan merabas hutan ini tidak ada halangan yang berarti.
Selesai merabas hutan, Sang Yogi mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.Di tempat dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi menanam kendi (payuk) berisi air, juga pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama Basuki yang kemudian kini dikenal sebagai Desa dan Pura Besakih. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar